Tuesday, November 25, 2008

Cara Membuat Zombie

Cara membuat zombie

Pernah main game “Resident Evil”? Semua penggemar video game pasti paling tidak pernah mendengar judulnya kalau memang belum pernah memainkannya. Penggemar film pun pasti juga pernah mendengar judul ini karena Resident Evil akhirnya diangkat menjadi film meskipun agak mengecewakan buat penggemar hardcore game-nya. Resident Evil, kecuali seri keempatnya, intinya bercerita tentang perjuangan seorang tokoh yang berusaha survive dan lolos dari sebuah tempat yang dipenuhi manusia yang telah berubah menjadi zombie pemangsa daging gara-gara sebuah virus ciptaan korporasi jahat bernama Umbrella Corp. yang secara rahasia menciptakan bermacam-macam virus untuk dijadikan senjata biologi. Game ini, saking populernya, bahkan menciptakan genre baru permainan video game, genre yang dikenal dengan nama survival horror adventure.

Salah satu elemen yang membuat game Resident Evil menarik rupanya adalah para zombie-nya karena ketika zombie tidak lagi muncul pada seri keempat game ini, rasanya Resident Evil jadi tidak terlalu menarik lagi. Zombie memang bukan produk orisinil Resident Evil. Kisah tentang mayat orang mati yang bangkit dari kuburnya lalu menjadi monster pemakan daging sudah muncul dalam literatur-literatur Mesir kuno, Mesopotamia, Babylonia, bahkan Sumeria. Tapi tentunya saat itu mahluk-mahluk ini belum dikenal dengan nama zombie. Nama “zombie” kemungkinan berasal dari bahasa Afrika “nzambi”, kata dalam bahasa Kongo yang berarti “arwah orang mati”. Kenapa Afrika? Karena praktek “pembuatan” zombie atau zombifikasi adalah ilmu khas voodoo (vodoun), dan voodoo seperti kita tahu, meski populer di Amerika Selatan, berasal dari Afrika.

Zombie dalam voodoo itu sungguhan lho! Zombie memang benar-benar ada. Tapi bukan sungguh-sungguh mayat yang dibangkitkan dari kematian. Zombie ternyata dibuat oleh dukun voodoo, yang dikenal dengan nama Bokor, dengan cara membuat orang incarannya koma melalui pemberian racun, yang lalu “dihidupkan” kembali, sekali lagi dengan campuran berbagai obat-obatan. Cara pembuatan zombie pernah dibahas tuntas oleh sorang ethnobiolog bernama Wade Davis dalam buku – yang kemudian diangkat menjadi film – “The Serpent and The Rainbow” terbitan tahun 1985. Yuk kita lihat cara pembuatan zombie. Kali-kali nanti bisa kita buat sendiri.

Untuk dasar pembuatan racunnya, yang biasanya berbentuk bubuk, bokor akan memasukkan seekor katak bouga (bufo marinus) yang beracun bersama seekor ular laut, kita tahu semua ular laut memiliki racun yang jauh lebih kuat daripada ular darat yang manapun, hingga keduanya tewas karena saling meracuni. Kedua bangkai binatang beracun ini kemudian digiling hingga halus dan dicampurkan bersama tumbukan lipan, beberapa spesies tarantula, biji tanaman beracun yang dalam voodoo dikenal sebagai biji tcha-tcha yang bisa menyebabkan pendarahan dalam saluran pernafasan, daun pohon jambu monyet (Anacardium occidentale) serta daun pohon yang dikenal dengan nama bresillet tree (Comocladia glabra). Semua bahan ditumbuk halus lalu dikubur di dalam tanah selama dua hari.

Setelah proses pemendaman selesai, bokor akan menambahkan dua jenis bubuk tanaman yang sayangnya Wade Davis sendiri tidak berhasil mengidentifikasi spesies tananmannya. Di Haiti, kedua tanaman itu dikenal dengan nama tremblador dan desmember. Kedua bubuk tanaman misterius ini kemudian ditambahkan pada campuran bubuk Urera baccifera, tanaman mahasa (Dalechampia scandens), cemara Dieffenbachia dan pinus bwa (Zanthoxylum matinicense). Untuk catatan saja, Dieffenbachia juga dikenal dengan nama “dumbcane” atau “tongkat bisu” karena pada abad ke-19 ketika perbuadakan masih lazim di Amerika, budak-budak biasanya dipaksa untuk menelan daun tanaman ini hingga kerongkongannya membengkak dan membuat mereka tidak mampu berbicara. Sadis ya…

Kemudian dicampurkanlah bubuk hewan-hewan beracun. Bubuk ini terbuat dari tumbukan kulit katak pohon putih (Osteopilus dominicensis), dicampur dengan tumbukan dua spesies trantula, lalu ditambahkan lagi tumbukan katak bouga dan empat spesies ikan buntal (Sphoeroides testudineus, Sphoeroides spengleri, Diodon hystrix dan Diodon holacanthus). Sebenarnya diantara semua bahan racun ini yang terpenting adalah keempat spesies ikan buntal ini. Seperti ktia tahu, ikan buntal memiliki racun tetrodotoxin, racun paling mematikan diantara semua jenis racun, 500 kali lebih mematikan dari sianida! Racun inilah yang membuat calon zombie, bila dosis yang diberikan tepat, berada dalam keadaan koma.

Efek racun buatan sang bokor ini sangat mengerikan lho! Pertama korban akan merasakan pusing, disorientasi lalu diikuti perasaan geli yang dimulai dari bibir lalu menjalar ke ujung-ujung jari tangan dan kaki, menyebabkan mati rasa. Korban akan merasa mual, pusing dan muntah-muntah, tekanan darah akan menurun dan detak jantung menjadi sangat cepat namun sangat lemah sehingga sulit diraba. Tubuh akan berubah menjadi biru karena paru-paru mengalami kesulitan fungsi, kemudian tubuh korban akan kejang-kejang sebelum akhirnya lumpuh sepenuhnya. Mata korban akan kehlangan reflek pupil maupun kornea, tampak berkabut sehingga korban terlihat seperti mati. Dalam kondisi ini korban bahkan bisa mengalami koma. Yang mengerikan, korban akan berada dalam keadaan sepenuhnya sadar saat semua ini terjadi – selama 30 sampai 45 menit – bahkan ketika dokter menyatakan dirinya telah tewas dan yang lebih menyedihkan lagi korban bahkan mungkin masih sadar, bila tidak koma, saat ia dimakamkan… Dengan teknologi kedokteran modern, hal ini, dimana korban yang belum mati dinyatakan sudah meninggal, mungkin bisa dihindari. Tapi di Haiti dan daerah-daerah lain dimana ilmu kedokteran masih seadanya, pemakaman korban yang belum betul-betul tewas sangat mungkin terjadi.

Seorang bokor biasanya mampu memastikan bahwa racun yang dibuatnya hanya akan membuat korbannya lumpuh, bahkan tidak sampai koma. Setelah dikiburkan satu atau dua hari, bokor akan “membangkitkan” kembali korbannya dengan menggunakan ramuan yang berasal dari campuran tebu, ubi dan tanaman seperti mentimun bernama latin Datura stramonium yang oleh praktisi voodoo dikenal dengan nama “zombie`s cucumber” (timun zombie). Zombie-zombie ini akan mengalami siksaan selama beberapa hari hingga mereka tidak punya pilihan lain kecuali menuruti perintah sang bokor. Selain itu zombie biasanya sudah mengalami kerusakan otak sampai derajat tertentu akibat dari pemakaman dirinya. Ketika dikuburkan, otak calon zombie akan mengalami kekurangan oksigen sangat parah sehingga fungsi otak akan sangat berkurang. Zombie kemudian biasanya akan dijual oleh para bokor sebagai budak untuk bekerja di perkebunan-perkebunan atau pekerjaan lain yang tidak terlalu membutuhkan otak dan kemampuan berbicara karena zombie-zombie ini sengaja dibuat tidak mampu berbicara. Zombie biasanya hanya membutuhkan sedikit sekali makanan, entah mengapa. Tapi ada satu pantangan; zombie tidak boleh diberi garam karena konon garam bisa mengembalikan kemampuan berbicaranya dan beberapa fungsi otak lainnya sehingga zombie yang sudah memakan garam seringkali kabur meninggalkan bokor-nya.

Sebenarnya dalam masyarakat di mana voodoo berkembang, pembuatan zombie dan penggunaan racun adalah sebuah bentuk kontrol sosial. Biasanya orang yang diubah menjadi zombie adalah mereka yang melanggar norma dan hukum. Masyarakat vodoun yang terdiri dari bokor-bokor adalah sebuah organisasi kelas tinggi di dalam masyarakat dan kepada mereka diserahkan kuasa untuk menegakkan hukum. Bila kemudian zombifikasi digunakan untuk kejahatan, maka itu adalah penyimpangan yang dilakukan oleh oknum dan bukan karena ajaran dasar voodoo.

Nah, tertarik untuk membuat zombie? Jangan dulu. Soalnya bahkan bokor yang paling jago sekalipun masih sering gagal membuat zombie dan korbannya malah tewas. Penganut voodoo percaya bahwa selain kemampuan membuat racun yang sangat baik – soalnya dosis racun yang tepat tergantung pada kondisi tubuh korban dan menilai kondisi tubuh korban biasanya hanya dilakukan dengan sistem kira-kira – bokor juga harus percaya pada ilmu sihir dan keyakinan bahwa zombifikasi adalah sungguh-sungguh bentuk pembangkitan orang yang sudah mati. Paradoks banget ya…

Monday, November 24, 2008

Halloween



Orang Indonesia mungkin adalah salah satu warga dunia yang paling sering salah kaprah. Kita terlalu sering melihat perilaku bangsa lain lalu meng-copy paste nya tanpa merasa perlu tahu latar belakangnya. Dari mulai fesyen (gaya gothic, misalnya. Tidak semua orang Indonesia yang nekat bergaya gothic tahu bahwa gaya ini adalah gaya fesyen para penganut vampire cults karena menurut mereka seperti demikianlah gaya vampir yang sebenarnya), musik, gaya hidup, makanan dan lain-lain termasuk di antaranya hari-hari perayaan. Dan hari perayaan paling di-salah kaprah-kan oleh orang Indonesia mungkin adalah Halloween.



Bagi kebanyakan orang Indonesia, terutama di kota-kota besar yang masyarakatnya lebih mudah dan intens terpapar budaya asing, Halloween mungkin tak lebih dari sekedar hari di mana para pengelola diskotik, pub, kafe dan pusat-pusat hiburan malam lainnya mengundang pelanggannya untuk datang berpesta dan ajojing sambil mabuk-mabukan hingga pagi menjelang, kegiatan yang biasa dilakukan anak-anak gaul tiap malam minggu, hanya saja kali ini pengunjung bisa ajojing dan mabuk-mabukan sambil mengenakan kostum kuntilanak, pocong, gendruwo, “drakula”, dan lain-lain. tapi, ketika saya tanyakan kepada seorang perempuan teman chatting saya, dia sejak awal Oktober lalu sibuk bertanya kesana kemari dimana bisa menemukan kostum hantu yang bagus untuk pesta Haloween di sebuah hotel terkenal, apa itu Halloween, dia hanya menjawab, “he..he..he..ndak tau juga ya…”. Jadi apa sih Halloween itu sebenarnya?



Di Indonesia yang hanya mengakui lima agama utama, satu-satunya yang boleh merayakan Halloween sebenarnya adalah umat Katholik. Ya, Halloween adalah hari besar orang Katholik (surprise, surprise!!!). Ada 3 hari besar dalam kalender gereja Katholik yang dimulai sejak tanggal 31 Oktober hingga 2 November yaitu All Hallow`s Eve di tanggal 31 Oktober, All Saint`s Day (Hari Semua Orang Suci) di tanggal 1 November dan All Soul`s Day (hari perayaan untuk jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal) di tanggal 2 November. Dalam gereja Katholik Indonesia, ketiga perayaan ini dijadikan satu sehingga hanya Hari Semua Orang Suci saja yang dirayakan dimana umat juga bisa mendoakan arwah saudara-saudaranya yang sudah meninggal selain berdoa juga untuk para santo dan santa (orang-orang suci Katholik) meskipun perayaannya tidak mesti tanggal 2 November seperti pada gereja abad pertengahan karena sekarang Hari Semua Orang Suci dirayakan dengan Misa hari Minggu pertama setelah tanggal 1 November.



Tapi seandainya Indonesia mengakui agama-agama pagan, seperti misalnya Druidisme, maka merekalah yang paling berhak merayakan Halloween. Halloween memang bukan perayaan orisinil gereja Katholik karena perayaan ini diadaptasi dari perayaan orang-orang pagan (heretik). Halloween bagi masyarakat pagan Eropa adalah pertanda awal masuknya musim dingin yang dimulai sekitar tanggal 1 November dimana panen dilakukan untuk terakhir kalinya. Dalam perayaan ini, persembahan diberikan kepada Dewa Kematian karena pada malam Halloween (tanggal 31 Oktober) dewa kematian akan membangkitkan arwah-arwah orang yang sudah mati untuk diadili kembali setelah masa percobaan selama 1 tahun. Menurut kepercayaan pagan, arwah-arwah ini setelah diadili kemudian akan menjalani pengadian kembali setahun kemudian, lalu tahun berikutnya dan seterusnya. Saat itu dipercaya orang pagan sebagai waktu di saat batas antara dunia orang mati dan orang hidup paling tipis. Persembahan diberikan agar dewa kematian lebih murah hati saat mengadili arwah mereka yang telah mati dan juga agar arwah-arwah yang telah dibangkitkan dan selama 3 hari itu bergentayanagan di bumi tidak merusak dan mengganggu mereka yang masih hidup. Persembahan-persembahan ini – biasanya berupa makanan dan anggur – diletakkan di depan rumah supaya diambil oleh arwah-arwah yang lewat. Selain itu, semua orang akan mengenakan kostum-kostum yang aneh. Tujuannya agar arwah-arwah mengira mereka sebagai arwah juga sehingga tidak diganggu. Semacam parade juga dilakukan oleh orang-orang berkostum agar arwah-arwah mengira kota atau desa tempat diadakannya parade itu telah dienuhi arwah-arwah lain dan mereka memutuskan untuk pergi. Festival orang mati seperti ini adalah perayaan paling penting bagi masyarakat pagan.



Ketika gereja Katholik mulai melakukan penyebaran agama di Eropa, proses asimilasi mulai dilakukan. Para petinggi gereja merasa bahwa para penganut paganisme akan lebih mudah di-kristen-kan bila hari-hari besar mereka diadaptasi. Adalah Paus Bonifasius IV yang pada abad ke-7 merubah perayaan orang mati paganisme menjadi Hari Semua Orang Suci yang jatuh pada tanggal 13 Mei. Paus Gregorius III kemudian memindahkannya ke tanggal 1 November sehingga betul-betul jatuh pada hari festival orang mati kaum pagan, dan kemudian pada abad ke-9, Paus Gregorius IV mengesahkannya sebagai hari perayaan resmi gereja Katholik. Proses asimilasi ini pada gilirannya merubah banyak aspek festival orang mati kaum pagan ini. Persembahan yang diberikan di depan pintu misalnya, diganti jadi pemberian soul cake, semacam roti berbentuk persegi dengan hiasan buah-buahan berry di atasnya, serta berbagai bahan makanan kepada kaum miskin. Orang-orang miskin akan berjalan dari pintu ke pintu untuk meminta kue-kue dan bahan makanan ini, dan sebagai balasannya mereka akan mendoakan arwah-arwah dari keluarga orang-orang yang memberikan “persembahan” ini kepada mereka. Kebiasaan inilah yang kemudian berkembang menjadi kebiasaan trick-or-treating yang dilakukan anak-anak pada hari Halloween, terutama di Amerika Serikat, sekarang ini. Penggunaan kostum-kostum juga masih tetap dipertahankan tapi terutama hanya karena kebiasaan saja. Di abad pertangahan, gereja Katholik juga masih memperkenankan penggunaan kostum dan parade, tapi hanya bila ditujukan untuk memuliakan arwah para orang suci.



Salah satu ikon Halloween yang tidak pernah bisa ditinggalkan adalah Jack-O-Lantern, yaitu semacam lampion yang terbuat dari labu yang diatasnya diukirkan mulut, hidung dan mata sehingga menyerupai wajah. Ketika sebuah TV swasta Indonesia membuat liputan keci tentang sebuah pesta Halloween di sebuah kafe terkenal di Jakarta, beberapa kali kamera menangkap Jack-O-Lantern yang dipasang berjajar di dalam kafe itu. Tapi apa mereka tahu latar belakang penggunaan si labu berwajah ini?



Ada beberapa versi kisah asal muasal labu Jack-O-Lantern, tapi versi yang paling terkenal mungkin adalah yang berasal dari Irlandia. Dikisahkan tentang seorang pria bernama Jack yang sepanjang hidupnya selalu berbuat jahat. Pada suatu malam Halloween, Jack yang tengah minum-minum di sebuah pub tiba-tiba mati. Setan langsung datang untuk menjemput arwah Jack yang memang hanya pantas masuk neraka karena semua kejahatannya. Tapi Jack yang belum mau mati berusaha untuk menipu sang setan. Ia kemudian meminta kepada setan sebuah permintaan terkhir yaitu segelas bir yang paling enak di pub itu. Tapi jack berkata bahwa ia tidak punya uang sepeserpun lagi. Setan yang juga tidak pernah bawa uang akhirnya setuju dengan usul Jack untuk berubah – setan konon bisa merubah dirinya jadi apapun – menjadi sekeping uang logam. Tapi begitu setan berubah rupa menjadi uang, Jack segera mengambil uang itu dan memasukkannya kedalam dompet. Ternyata di dalam dompet Jack ada gambar salib sehingga setan tidak bisa keluar lagi dari sana. Jack kemudian berjanji akan melepaskan sang setan asalkan setan itu mau memberinya waktu untuk hidup setahun lagi. Setan pun setuju.



Setahun kemudian setan datang kembali untuk mengambil nyawa Jack. Jack yang telah melalui setahun lagi hidupnya dengan berlaku lebih jahat tetap belum ingin masuk neraka. Ia kemudian meminta setan mengambilkan sebuah apel dari sebuah pohon yang tumbuh di halaman rumah Jack karena Jack ingin memakan apel sebagai permintaan terakhir. Setanpun menyetujuinya. Tapi begitu setan naik ke atas pohon Jack segera mencabut pisaunya dan menggambar tanda salib di batang pohon sehingga setan tidak bisa turun lagi. Jack kembali membuat perjanjian dengan setan yang tengah putus asa itu; ia akan menghapus gambar salib di batang pohon asalkan setan berjanji tidak akan pernah lagi selama-lamanya mengganggu dia. Setanpun setuju dan berjanji tidak akan lagi mengganggu Jack.



Tapi tak lama kemudian Jack betul-betul tewas. Ketika ia mencoba masuk ke surga, malaikat langsung mengusirnya karena Jack adalah orang jahat semasa hidupnya. Maka Jack pergi ke neraka. Tapi setan yang telah berjanji tidak akan lagi mengganggu Jack langsung menyruhnya pergi karena setan sudah berjanji dan di kalangan setan janji tidak boleh dilanggar. Maka setan memerintahkan Jack kembali ke bumi dan untuk menerangi jalan, ia memberikan sebuah batu bara yang menyala-nyala kepada Jack. Jack kemudian membuat semacam lampion dari lobak dengan batu bara tersebut di dalamnya. Masyarakat tradisional di Eropa dan Amerika Serikat masih sering melarang anak-anak mereka keluar rumah di malam hari karena mereka percaya Jack yang jahat itu masih bergentayangan dengan lampion lobaknya untuk menyesatkan anak-anak yang mengikuti sinar lampionnya itu.



Penggunaan Jack-O-Lantern dari lobak sebagai pernik Halloween sudah dipraktekkan sejak perayaan Halloween dilakukan oleh kaum pagan. Peletakkan lampion ini dilakukan sebagai representasi dari arwah-arwah yang bangkit di malam Halloween. Ketika orang Irlandia bermigrasi besar-besaran ke Amerika, mereka membawa kebiasaan ini ke tanah air mereka yang baru. Hanya saja mereka melihat bahwa labu bisa menjadi lampion yang lebih bagus dari lobak karena ukurannya yang lebih besar dan lebih mudah diukir.



Jadi bila anda bukan Katholik, mestinya anda tidak perlu repot-repot merayakan Halloween. Apalagi pada tahun 1517, Martin Luther, sang penggagas gerakan reformasi Kristen yang melahirkan agama Protestan telah melarang umat Protestan merayakan Halloween. Bila tahu bahwa Halloween adalah perayaan orang Katholik, MUI juga mestinya melarang umat Islam merayakan Halloween. Orang Indonesia, paling tidak orang Jawa, kan punya Halloween atau festival orang mati sendiri sebenarnya. Jadi mestinya acara ajojing dan mabuk-mabukan sambil mengenakan kostum hantu di kafe dan diskotik Indonesia mestinya diadakan pada “Halloween orang Jawa” ini, yaitu pada Malam 1 Suro. Eh, tapi nggak bisa juga, ding, karena malam 1 suro itu kan juga Tahun Baru Hijriyah sehingga acara ajojing dan mabuk-mabukan yang haram itu mestinya tidak boleh dilakukan. Jadi…ya…kita orang Indonesia terima nasib sajalah. Kita rayakan saja perayaan-perayaan kita sendiri. Hari Pahlawan atau Sumpah Pemuda saja misalnya.

Vampir di Indonesia

Bagi anda yang sempat melewati dekade 80-an, mungkin sempat melewati sebuah periode di awal dekade ini ketika masyarakat Jakarta dihebohkan oleh sebuah isu tentang sesosok mahluk yang dikenal dengan nama “Drakula Cinta”. Terlepas dari namanya yang norak, Drakula Cinta sempat membuat takut gadis-gadis di seputar Jabotabek karena “drakula” ini memang konon menyasar perawan-perawan sebagai korbannya. Diyakini, “mahluk” yang demikian lincahnya sehingga bisa meloncati atap-atap rumah ini menggigit dan menghisap darah gadis-gadis sehingga membuat para orang tua memasang berbagai penangkal vampir, mulai dari penangkal-penangkal khas Hollywood seperti bawang putih dan salib hingga yang kurang lumrah seperti paku, lonceng kecil, cermin, kertas-kertas kuning berisi mantra berhuruf kanji dan lain-lain.
Pada periode yang sama, tepatnya di tahun 1984, harian Sinar Harapan, yang kemudian dikutip oleh New York Times, memuat berita tentang serangan yang dialami 21 wanita di Medan, Sumatera Utara yang mengakibatkan luka bekas gigitan di leher semua wanita tersebut. Kepada polisi mereka mengaku diserang oleh seorang laki-laki yang masuk ke kamar-kamar tidur mereka pada malam hari lalu mengigit dan menghisap darah mereka. Berita heboh ini bahkan mengundang seorang anggota DPR kurang kerjaan datang jauh-jauh dari Jakarta untuk menemui mereka.
Jadi, ada vampir di Indonesia? Kurang tahu juga ya. Tapi yang jelas folklor tentang mahluk-mahluk penghisap darah, baik undead maupun manusia yang diyakini menghisap darah korbannya dalam rangka menuntut sebuah ilmu hitam memang bisa ditemui di banyak suku bangsa dari Sabang hingga Merauke. Yuk kita bahas satu persatu, berdasarkan wilayah sebaran folklornya mulai dari barat sampai ke timur.


PALASIK. Vampir ini hidup dalam folklor masyarakat Padang, Sumatera Barat. Orang Minang percaya bahwa palasik adalah orang yang menganut sebuah ilmu hitam yang mengharuskan dirinya secara berkala menghisap darah manusia. orang yang memperlajari ilmu palasik akan dapat melepaskan kepalanya dari tubuh. Kepala inilah yang melayang mencari mangsa terutama wanita dan anak-anak.



CINDAKU. Sebenarnya cindaku tidak bisa digolongkan sebagai vampir karena mereka sebenarnya konon adalah orang-orang yang dapat merubah dirinya, secara sukarela maupun terpaksa, menjadi harimau. Cindaku lebih dikenal dengan nama “Manusia Harimau” atau “Harimau Siluman”, tokoh yang diangkat oleh penulis SB Chandra dalam novel bestseller tahun 80-an berjudul, apalagi kalau bukan, “Manusia Harimau”. Meskipun cindaku bukan vampir, namun masyarakat Minang yang memiliki folklor tentang mahluk ini meyakini bahwa cindaku juga menghisap darah meski dengan cara yang kurang lazim yaitu hanya dengan memandang korbannya itu dari kejauhan. Sebagian masyarakat Minang juga percaya bahwa karakteristik ini dimiliki pula oleh penganut-penganut palasik.



KUYANG. Kalimantan mungkin adalah wilayah dengan folklor vampir paling banyak di Indonesia. Salah satunya adalah kuyang. Yang menarik, kuyang ternyata mirip dengan palasik dari Sumatera. Mereka diyakini sebagai orang-orang yang tengah belajar ilmu yang pada waktu-waktu tertentu akan melepaskan kepalanya dari tubuh untuk mencari mangsa yang akan dihisap darahnya. Tapi masyarakat Kalimantan, terutama di Kalimantan TImur, percaya bahwa kepala kuyang tidak akan “beroperasi” masih dengan berbentuk kepala karena kepala-kepala ini akan menyamar menjadi binatang terutama kucing dan burung. Kuyang memiliki minat khusus kepada wanita-wanita hamil dan bayi yang baru saja dilahirkan (sebuah “minat” yang dimiliki beberapa vampir dari folklor-folklor suku yang berbeda di Indonesia. Kita akan bahas tentang ini nanti). Karenanya seorang wanita yang tengah hamil dianjurkan untuk tidak berbicara dengan orang asing, terutama yang mencoba menyentuh perut sang wanita hamil. Konon seorang kuyang bisa mengambil janin dari dalam perut seorang ibu hamil hanya dengan menyentuhnya. Seseorang yang belajar ilmu kuyang memiliki ciri tertentu sehingga sebenarnya mudah dikenali. Mereka biasanya mengenakan kain atau scarf di leher mereka sepanjang, waktu konon untuk menutupi garis merah seperti bekas luka tempat terputusnya kepala mereka.



HANTUEN. Hantuen memang tidak seterkenal kuyang, namun ternyata hantuen lebih menarik perhatian antropolog sedunia karena memiliki dasar cerita rakyat yang jelas. Salah satunya adalah cerita yang dicatat oleh Anne Louis Schiller dalam buku “Small Sacrifices : Religious Change and Cultural Identity Among the Ngaju of Borneo”. Menurut cerita yang dipercaya masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, kisah asal muasal hantuen dimulai ketika 2 muda mudi dari 2 desa yang berbeda bernama Antang Taui dan Tapih saling jatuh cinta lalu menikah. Mereka kemudian mengangkat anak seorang bocah ajaib jelmaan seekor angkes (mungkin sejenis musang dalam logat setempat) serta seorang anak gadis jelmaan ikan. Kedua anak siluman itu kemudian saling jatuh cinta dan menikah dan tak lama kemudian sang gadis siluman melahirkan anak. Tapi kemudian anak mereka mati. Karena masyarakat Dayak memiliki ritual kematian yang membutuhkan biaya besar, maka suami istri siluman ini meminta dana kepada Antang Taui untuk mengurus jenazah anak mereka. Antang Taui langsung marah dan berkata bahwa anak mereka bukan anak manusia sehingga tidak perlu dibuatkan upacara. Kedua pasangan siluman itu marah besar dan melarikan diri ke hutan dengan sumpah bahwa anak-anak mereka kelak akan memangsa manusia. Di dalam hutan kedua siluman ini membangun sebuah komunitas yang kemudian menjadi masyarakat vampir yang oleh suku-suku Dayak setempat dikenal dengan hantuen. Anne Schiller ketika melakukan riset di Kalimantan memperoleh cerita dari beberapa antropolog barat lainnya yang melihat seorang anak yang mencoba menghisap darah jenazah bayi penduduk setempat yang tengah dimakamkan. Oleh ibu anak tersebut diakui bahwa ia sekeluarga adalah keturunan hantuen dan karenanya tidak ada yang berani mengganggu mereka. Hantuen, seperti juga kuyang, memiliki kemampuan memisahkan kepala dari tubuh dan gemar memangsa wanita hamil dan bayi. Karenanya banyak yang meyakini bahwa ilmu kuyang yang dipelajari para kuyang sebenarnya berasal dari masyarakat hantuen.



BUO. Buo lebih tidak terkenal lagi dari hantuen. Tapi cerita tentang buo dapat ditemui di hampir semua suku Dayak di Kalimantan. Dan buo memiliki karakteristik yang lebih mirip dengan vampir-vampir di barat. Orang-orang Dayak yakin buo adalah mayat para prajurit kuno yang tewas di medan perang dan tidak mendapatkan pemakaman yang layak sehingga bangkit dari kematiannya untuk menghisap darah dan membunuh manusia. Buo biasanya mengincar gadis-gadis muda sebagai korbannya (buaya juga si buo ini!).



SRUWET. Sruwet pernah membuat masyarakat Cirebon, Jawa Tengah tidak tenang di tahun 1960-an. Entah kenapa disebut Sruwet, tapi yang jelas menurut folklor lokal sruwet adalah seorang wanita tak dikenal yang menurut masyarakat setempat hanya terlihat oleh warga keluar di malam hari. Menurut mereka, suatu ketika sruwet mendatangi rumah seorang warga yang istrinya akan bersalin dengan menyamar sebagai seorang dukun beranak. Ia kemudian membantu persalinan tersebut, tapi begitu sang bayi dilahirkan, suami wantita yang baru melahirkan itu melihat sruwet berubah menjadi wanita bertaring yang tengah menggigit dan menghisap darah bayinya. Suami yang ketakutan itu kemudian melaporkan hal ini kepada masyarakat yang kemudian menangkap sruwet yang langsung mereka bunuh. Yang menarik, cara pembunuhannya mirip dengan cara membunuh vampir dalam film-film Hollywood; jantung sruwet dipasak dengan bambu runcing kemudian tubuhnya dibakar.



PARAKKANG ATAU POPPO`. Parakkang adalah vampir dalam folklor masyarakat Makassar, Sulawesi Selatan. Yang menarik dari parakkang atau dalam logat yang berbeda dikenal juga dengan poppo` adalah mereka persisi sama dengan kuyang dan palasik; yaitu orang-orang yang dengan ilmu tertentu dapat memisahkan kepala dari tubuhnya untuk mencari manusia yang bisa dimangsa darahnya. Hanya saja ilmu parakkang, berbeda dengan ilmu kuyang dan palasik yang biasanya dipelajari, diturunkan dari orang tua kepada anak lelakinya secara paksa. Untuk catatan saja, ilmu vampirisme dengan modus melepaskan kepala dari tubuh juga bisa ditemukan di folklor masyarakat Filipina pada mahluk yang dikenal dengan nama mandurugo dan manananggal. Bahkan beberapa nara sumber menyebutkan bahwa ilmu kuyang sering juga disebut dengan nama “ilmu mananggal”.



SINSYMONYI. Wilayah Papua juga punya vampir-nya sendiri. Mereka mengenalnya sebagai sinsymonyi. Folklor sinsymonyi sendiri bisa dibilang tidak terlalu populer di Papua dan hanya bisa ditemukan di wilayah pedalaman sebelah timur sampai selatan. Menurut folklor lokal, sinsymonyi adalah para penyihir yang hidup menyendiri di gunung-gunung karena terusir dari suku mereka. Dengan ilmu sihirnya, sinsymonyi akan menyamar menjadi manusia biasa, biasanya berujud nenek renta, untuk menculik bayi-bayi yang baru dilahirkan. Bayi-bayi ini akan dihisap darahnya dan dimakan dagingnya oleh para penyihir ini meskipun menurut beberapa folklor bayi-bayi ini akan dididik oleh para sinsymonyi agar kelak bisa meneruskan ilmu mereka. Seringkali sinsymonyi diburu oleh masyarakat suku-suku yang merasa bayinya telah diculik oleh mahluk-mahluk ini. Bila tertangkap, meskipun bukanlah perkara mudah untuk menangkap sinsymonyi, maka mahluk ini harus dibunuh dengan cara dibakar hidup-hidup agar arwahnya tidak menuntut balas.

Friday, November 21, 2008

Vampir atau Drakula?


-->
VAMPIR ATAU DRAKULA ?


-->
-->
Beberapa waktu yang lalu seorang teman memberikan kepada saya sebuah buku. “Untuk hadiah ulang tahun”, katanya. Buku itu – no offense to Amang – sebenarnya bisa menjadi sebuah buku referensi antropologis yang bagus andaikata penulisnya melakukan penelitian yang lebih giat dan tidak memberikan analisa-analisa klenik terhadap tema isinya yang memang sudah klenik. Anyway, buku ini termasuk buku “langka” menurut saya karena isinya yang memaparkan berbagai legenda hantu dalam folklor-folklor berbagai suku di Indonesia. Kenapa langka? Karena penerbit paling malas menerbitkan buku dengan tema seperti ini.
Terlepas dari isinya, saya sedikit kecewa ketika menemukan sebuah kesalahan yang meskipun tidak fatal sih, tapi semestinya tidak dilakukan oleh orang yang telah memberanikan diri menulis tentang folklor hantu. Kesalahan itu dibuat penulis buku di dalam bab kata pengantar. Di situ rupanya penulis ingin menjelaskan bahwa ke-klenik-an bukan hanya ada di Indonesia, tapi juga dimiliki bangsa-bangsa lain. Penulis buku itu mengungkapkannya dengan kalimat ini, “di Cina ada vampire, di Amerika ada Drakula”…
Apa yang salah? Satu kalimat itu salah semua! Yang pertama, di Cina memang ada legenda tentang vampir – seperti juga terdapat di hampir semua kebudayaan di dunia ini – tapi vampir di sana tidak disebut sebagai vampir. Vampir di Cina disebut dengan nama Ch`iang Shih. Orang Indonesia menyebut mahluk yang sering digambarkan berjalan dengan cara melompat-lompat, mengenakan pakaian seperti opsir jaman dinasti Qing dan masih jago kung fu walaupun jelas-jelas sudah mati ini sebagai vampir gara-gara seringnya film-film horor Hongkong di putar di TV swasta kita. Dalam bahasa aslinya, saya yakin para pemeran film itu menyebut si “vampir” ini sebagai ch`iang shih. Tapi karena film-film tersebut maunya diedarkan di negara-negara berbahasa Inggris, supaya gampang ch`iang shih diterjemahkan sebagai vampir.
Yang kedua, Drakula sama sekali bukan berasal dari Amerika. Salah benua bahkan. Tokoh bernama “Dracula” berasal dari Eropa Timur. Dan bahkan kalau mau merujuk kisahnya pada sang penulis novel yang mengangkat nama Drakula, menyebutnya berasal dari Amerika pun tetap saja salah karena penulis novel Dracula, Bram Stoker adalah orang Inggris.
Tapi kemudian saya sadar. Biar bagaimanapun, penulis buku pemberian teman saya itu mungkin memang mengkhususkan dirinya pada legenda-legenda hantu di Indonesia. Dan lagi setelah melihat biografi singkat mereka, kedua penulis tampaknya memang tidak pernah memiliki pendidikan antropologi yang mandalam sehingga melakukan kesalahan seperti yang dilakukan orang awam : menyebut istilah “vampire” dalam ilmu folklor sebagai “Drakula”. Hal ini lazim terjadi. Ketika kita bicara mengenai cerita tentang mahluk penghisap darah – baik dalam folklor seperti vampir pada umumnya, dalam dunia hewan seperti lintah, nyamuk dan kawan-kawan, maupun untuk kata kiasan misalnya ketik media massa sering menyebut koruptor sebagai penghisap darah – sebagai “drakula”. Padahal “vampir” dan “drakula” adalah dua term yang berbeda. Mari kita bahas satu persatu.

VAMPIRE

Menurut Rosemary Ellen Guiley dalam buku “The Encyclopedia of Ghosts and Spirits”, vampire didefinisikan sebagai “…either the living dead – the resurrected corpse – or the ghost of a corpse that leaves its grave at night and walks the world of the living to feed off of them to survive..” atau terjemahan bebasnya “…mayat hidup – mayat yang dibangkitkan kembali – atau arwah dari sesosok jenazah yang meninggalkan kuburan mereka pada malam hari dan menjelajah dunia manusia hidup untuk memangsa mereka agar bisa bertahan…”
Kata “vampire” mulai digunakan dalam bahasa Inggris pada tahun 1732 dan mulai dicantumkan dalam Oxford English Dictionary 2 tahun kemudian. Kata ini kemungkinan berasal dari kata bahasa Jerman “Wampyr” atau bahasa Perancis “vampyre”. Kala itu catatan-catatan para biarawan dan peneliti tentang legenda-legenda vampir serta praktek penguburan mayat dengan ritual tertentu yang diyakini dilakukan untuk menghindari orang yang mati berubah menjadi vampir pada masyarakat daerah-daerah Eropa Timur mulai dibaca oleh kalangan akademisi Eropa Barat. Meskipun daerah yang berbeda memiliki nama yang berbeda pula untuk legenda vampir mereka sendiri – seperti misalnya “strigoii” dan “pricolici” di Rumania, “vrykolakas” di Yunani, “upyr” di Rusia – tapi kata yang kemudian akrab di negara-negara Eropa Barat adalah “vampire”. Sejak saat itu kata ini mulai digunakan untuk menggambarkan mahluk yang hidup dari menghisap darah mahluk lain. Yang menarik, akhirnya kata “vampire” tidak hanya digunakan dalam folklor, tapi juga untuk menunjukkan binatang penghisap darah dalam biologi dan zoologi. Kelelawar vampire misalnya, sebuah sub family kelelawar bernama Desmodontinae yang terdiri dari 3 spesies dengan Desmodus rotundus sebagai kelelawar vampir yang paling lazim, adalah kelelawar- kelelawar yang secara eksklusif memakan darah segar (maksudnya dapat hidup hanya dengan meminum darah saja). Selain itu, beberapa genera ikan dari family Trychomicteridae yang dikenal dengan nama Candiru yang hidup di sungai Amazon, sering dijuluki “vampire fish” karena hidup sebagai parasit dengan cara menghisap darah host yang ditumpanginya.
Legenda tentang vampir diperkirakan sudah ada sejak awal peradaban manusia. Gerabah-gerabah kuno masyarakat Mesopotamia, masyarakat yang konon adalah yang pertama memiliki peradaban, sering ditemukan bergambar mahluk, seringkali berbentuk humanoid, yang tengah menggigit sesosok manusia. diperkirakan inilah gambaran pertama tentang legenda vampir. Namun vampir pertama yang memiliki nama kemungkinan adalah sesosok perempuan bernama Lamashtu dari legenda masyarakat Babylonia. Legenda Lamashtu rupanya kemudian diadaptasi oleh masyarakat Yahudi yang kala itu diperbudak orang-orang Babylonia. Dalam legenda adaptasi ini Lamashtu yang kemudian berubah namanya menjadi Lilith digambarkan sebagai istri pertama Adam sebelum munculnya Hawa. Kemungkinan Lilith adalah entah malaikat atau iblis, yang jelas ia bukan manusia. Tapi kemudian Adam memperistri Hawa yang Tuhan ciptakan baginya. Lilith yang dilanda cemburu bersumpah bahwa ia dan keturunannya akan selamanya memangsa dan meminum darah keturunan-keturunan Adam. Untuk catatan saja, Lilith hingga hari ini masih dianggap sebagai dewi tertinggi dalam berbagai kultus-kultus vampir (vampire cults) dan diyakini akan bangkit suatu hari nanti untuk membawa kiamat bagi umat manusia.
Yang menarik, ternyata hampir semua kebudayaan yang ada dan pernah ada di bumi ini memiliki paling tidak satu legenda yang berhubungan dengan mahluk penghisap darah. Tapi hal ini akan kita bahas lain waktu.
Nah, karenanya sebutan “resmi”, tapi tidak formal, mahluk penghisap darah, terutama dalam pengumpulan folklor oleh folkloris adalah “vampire”. Jadi, berbekal kenyataan ini, mari kita bahas istilah “drakula”.

DRACULA

Bila berbicara tentang nama Dracula, maka kita tidak bisa tidak harus menyinggung dua sosok yang sama-sama fenomenal : Dracula fiktif dan Dracula historis. Pada tahun 1897, seorang penulis Inggris bernama Bram Stoker menerbitkan sebuah novel yang konon adalah novel paling laris sepanjang masa. Judulnya tidak lain dan tidak bukan adalah “Dracula”. Novel ini konon sudah diterjemahkan ke dalam hampir semua bahasa di dunia dan masih terus dicetak ulang hingga hari ini. Dari novel inilah Dracula fiktif menjadi terkenal.
Novel “Dracula” bercerita tentang seorang bangsawan, dalam novelnya bergelar count, dari wilayah Transylvania, sekarang sebuah propinsi di Rumania bernama Dracula. Ceritanya bermula ketika seorang pengacara muda dari London bernama Jonathan Harker yang dikirim oleh firmanya ke Transylvania untuk mengurus pembelian sebuah bangunan di London oleh count Dracula. Setelah tinggal di kastil sang count selama beberapa waktu, Jonathan Harker akhirnya sadar bahwa sang count sepertinya bukanlah manusia normal dan bahwa dirinya tengah ditawan di kastil raksasa itu. Akhirnya Harker melarikan diri dari kastil sang count dan segera kembali ke Inggris. Sementara itu count Dracula rupanya juga berangkat ke Inggris untuk “menyebarkan wabah vampirnya”. Salah satu korbannya adlah Lucy Westenra, sahabat Wilhelmina Harker yang kemudian di dalam novel tersebut menjadi istri Jonathan Harker. Diceritakan bagaimana Lucy Westenra sempat berubah menjadi vampir walaupun seorang profesor dari Belanda bernama Abraham Van Helsing telah berusaha menolongnya. Belakangan, Mina Harker pun nyaris saja menjadi mangsa sang bangsawan vampir. Untuk menyelamatkan Mina, Jonathan Harker bersama Profesor Van Helsing beserta Mina dan beberapa kawan mereka pergi ke Transylvania untuk mengejar dan membunuh sang count yang rupanya telah kembali ke tanah kekuasaannya. Cerita ini berakhir tentu saja dengan tewasnya count Dracula dan selamatnya Mina Harker dari kutukan vampir.
Novel ini bisa dibilang sangat menarik meskipun bahasanya sangat terkesan “jadul” (jelas saja lah, dibuatnya aja tahun 1897). Tapi yang paling menarik adalah format penulisannya yang tidak lazim. Novel ini dibuat seakan-akan berupa kumpulan catatan-catatan harian, hasil penelitian, surat-surat bahkan transkrip rekaman suara para tokoh yang terlibat di dalamnya. Stoker dengan sangat pandai merangkai catatan-catatan ini sehingga pembaca tidak kehilangan alur dan deskripsi ceritanya meskipun tetap terasa tengah membaca surat-surat orang lain. Mungkin ini yang membuat novel ini demikian fenomenal selain tentu saja tokoh Dracula nya sendiri yang memang dibuat dengan sangat brilian. “Dracula” memang bukan novel pertama yang mengangkat vampirisme sebagai topiknya – karena paling tidak sudah sejak tahun 1700-an ditemukan tulisan tentang vampir – tapi novel inilah yang membuat vampir, dan tokoh Dracula tentu saja, menjadi sangat terkenal. Sayangnya, Bram Stoker nya sendiri tidak terkenal. Tulisan-tulisan yang dibuatnya menyusul kesuksesan novel “Dracula” tidak terlalu populer. Ia seperti ditelan oleh tokoh ciptaannya sendiri, Dracula.
Novel “Dracula” akhirnya merambah pula dunia film. Pada tahun 1922, seorang sutradara Jerman bernama JW Murnau sempat mengajukan permohonan untuk membeli hak cipta novel “Dracula” supaya bisa diangkatnya ke layar lebar. Namun permohonan ini ditolak oleh keluarga Bram Stoker. Meskipun begitu, Murnau tetap nekat membuat sebuah film yang mengadaptasi novel tersebut. Film tersebut adalah sebuah film bisu berjudul “Nosferatu”. Alur ceritanya sama persis dengan “Dracula”, hanya saja tokoh-tokoh di dalamnya diubah namanya. Count Dracula misalnya diganti menjadi Count Orlok, Jonathan Harker menjadi Thomas Hutter, Mina Harker menjadi Ellen dan lain-lain. Karena pelanggaran hal cipta inilah Murnau kemudian harus menghadapi tuntutan janda Bram Stoker. Meski kalah di pengadilan, namun film “Nosferatu” hingga hari ini tetap menjadi ikon para penggemar film horor. Belum jadi penggemar horor rasanya bila belum menonton “Nosferatu”.
Tapi film “Dracula” yang sejati adalah film yang dibuat pada tahun 1932 yang diproduksi dan diedarkan oleh Universal. Adalah Bela Lugosi yang begitu menawan memerankan Dracula sehingga oleh dirinyalah imej Dracula yang ada hingga hari ini – berwajah pucat, dingin namun ganteng, lebih mirip orang Italia daripada orang Eropa Timur, berambut klimis, berpakaian necis dengan jas lengkap bersama dasi kupu-kupunya, dan terutama teramat sangat cool – diciptakan.
Tapi, tahukan anda bahwa tokoh count Dracula sebenarnya diangkat dari tokoh asli? Adalah seorang bangsawan abad pertengahan bernama Vlad III Drakulya yang diperkirakan menjadi inspirasi Stoker menciptakan tokoh Dracula dalam novelnya. Vlad III adalah seorang bangsawan yang, berbeda dengan novelnya, berkuasa di daerah Wallachia, sebuah daerah di selatan Transylvania yang dibatasi pegunungan Carpathia. Ia memang diahirkan di Transylvania namun tidak berkuasa di sana. Vlad III lahir pada tahun 1431. ketika berumur 11 tahun, ia diserahkan ayahnya, Vlad II Dracul kepada sultan Murad II dari Turki karena Vlad II kalah perang dari sang sultan. Selama 6 tahun Vlad III tinggal di istana sultan Murad II. Pada tahun 1456, Vlad III naik tahta dan menjadi penguasa Wallachia. Gelarnya, sekali lagi berbeda dengan di dalam novel, adalah voivode. Gelar ini adalah gelar kebangsawanan yang lebih bersifat kemiliteran daripada count yang lebih bersifat administratif. Vlad III, seperti juga ayahnya, adalah tentara yang sangat handal.
Berbeda dengan kenyataan yang dikesankan di dalam novel, nama “Drakulya” dan “Dracul” bukanlah nama keluarga. Nama ini adalah nama julukan yang diperoleh Vlad II dari sebuah ordo bangsawan Kristen bernama Ordo Naga (Order of the Dragon). Ordo ini didirikan tahun 1408 oleh kaisar Sigismund dari Hongaria, bertujuan untuk mengumpulkan sumber daya dan pasukan yang dimiliki oleh bangsawan-bangsawan seluruh Eropa untuk mengantisipasi serangan Turki Ottoman yang kala itu menjadi ancaman bagi Eropa, terutama Eropa bagian timur. Awalnya Ordo Naga hanya dianggotai oleh bangsawan-bangsawan berstatus administratif yang tidak biasa berperang. Karenanya ketika Vlad II, ayah Vlad III Dracula bergabung, kaisar Sigismund sangat gembira karena itu berarti Ordo Naga memiliki seorang sekutu yang sangat kuat, memiliki pasukan besar dan telah biasa bertempur karena status voivode-nya yang bersifat militeristik. Lagipula Vlad II memang telah lama menyulitkan pasukan Turki yang kala itu hanya berhasil menduduki Bulgaria saja. Karena gembiranya, Sigismund menganugerahkan gelar Dracul kepada Vlad II, sebuah istilah lokal Wallachia yang berarti “Naga” (Yang menarik, “dracul” dalam bahasia Rumania bisa juga berarti setan atau iblis).
Setelah Vlad II Dracul meninggal, Vlad III sang anak menggantikan kedudukan ayahnya sebagai penguasa Wallachia pada tahun 1456. Secara otomatis Vlad II pun menjadi anggota Ordo Naga pula dan karenanya menwarisi gelar Dracul sang ayah, hanya saja gelar yang disanangnya adalah “Drakulya” dalam bahasa Rumania atau “Draculea” dalam bahasa latin yang berarti “son of the dragon” atau “Putra Naga”. Sejak saat itu Vlad III dikenal dengan nama Vlad III Dracula.
Namun Vlad Dracula memiliki sebuah julukan lain yang membuat banyak sejarawan dan pengamat sastra yakin bahwa Vlad III lah inspirator novel “Dracula” dan bukan ayahnya, Vlad II. Julukan tersebut adalah “Tepes” atau ke dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai “Impaler”. To impale berarti “menyula” atau menusuk sesuatu dengan batang kayu atau besi hingga tembus. Dan memang inilah sebuah hobi menyeramkan Vlad Dracula yang membuatnya terkenal; menyula. Ia sangat gemar menghukum siapa saja dengan cara menusukkan batang kayu besar, biasanya dimasukkan lewat dubur atau ditusukkan ke perut lalu memancangkan kayu tersebut vertikal di atas tanah sehingga korban yang belum mati akan tertusuk perlahan-lahan dan mati dengan cara yang mengerikan, biasanya dengan ujung kayu yang lancip menembus ke mulut, leher atau kepala. Hukuman sula ini dilakukan Dracula pada siapapun, bukan hanya orang-orang Turki yang menjadi musuhnya, tapi juga rakyatnya sendiri, para tuan tanah di wilayahnya, tidak peduli laki-laki atau perempuan, dewasa atau anak-anak, bahkan bayi sekalipun. Kekekajam praktek penyulaan ini konon menurut sebuah legenda setempat bahkan sempat membuat sultan Turki Mehmed II yang menjadi musuh bebuyutan Dracula membatalkan serangannya ke Wallachia ketika melihat Dracula menghiasi kastilnya dengan ratusan mayat tersula rakyatnya sendiri, termasuk manula dan bayi. Sang sultan konon berkata, “ mari kita kembali. Bila ia tega melakukan hal ini kepada rakyatnya sendiri, bayangkan apa yang bisa ia lakukan pada musuhnya…”
Vlad Dracula tewas pada tahun 1476. meskipun kematiannya diklaim oleh sultan Mehmed II adalah karena terbunuh oleh pasukan Ottoman, namun kematian Dracula masih diliputi berbagai misteri. Misalnya saja, meskipun legenda rakyat setempat mengatakan bahwa Dracula, paling tidak badannya karena kepalanya konon disembunyikan oleh sultan Mehmed II, dimakamkan di sebuah biara di pulau danau Snagov di Rumania, namun banyak yang tidak meyakini hal ini. Sebab kematiannya pun masih menjadi sumber spekulasi. Selain kepercayaan umum mengatakan bahwa Dracula terbunuh dalam pertempuran, namun banyak pula yang percaya bahwa ia dibunuh oleh orang-orang terdekatnya, ada yang bilang karena dendam, namun ada juga yang meyakininya sebagai politik kotor. Setelah Dracula wafat, Wallachia menjadi wilayah kekuasaan Turki Ottoman. Tapi penguasa di sana tetaplah saudara Dracula sendiri, Radu, yang adalah boneka Ottoman. Konon Radu sendirilah yang membunuh Dracula.
Tapi…apakah Dracula adalah seorang vampir? Dracula dalam novel Bram Stoker pastilah vampir. Tapi apakah Vlad Dracula sang tokoh sejarah juga vampir atau bukan tetap menjadi misteri. Meskipun kejam, namun masyarakat Wallachia memandang Vlad III tetap sebagai pahlawan dan karenanya mereka keberatan bila Dracula disebut sebagai pricolici, nama lokal untuk vampir. Malah bila bicara tentang vampir, maka penduduk kampung-kampung Rumania akan menunjuk Elizabeth Bathory, seorang countess dari Hongaria. Elizabeth Bathory hidup di akhir abad 16 hingga awal abad 17. Konon semasa hidupnya ia telah menyiksa dan membunuh 600 korban yang hampir semuanya perempuan dan hampir semuanya perawan. Folklor lokal mengatakan bahwa Elizabeth Bathory menggunakan darah perempuan-perempuan muda ini untuk mandi dan bahkan dikonsumsi karena ia percaya hal ini akan mempertahankan kecantikannya. Karena perilakunya ini ia digelari “The Blood Countess”, dan ditahan di kastil Cachtice hingga ia tewas pada 1614. Elizabeth Bathory memang kurang dikenal di Indonesia, namun di negara-negara barat ia cukup memiliki reputasi sebagai tokoh horor yang asli. Buktinya ia bahkan sempat dibuatkan action figure-nya oleh Todd McFarlane pada awal tahun 2000-an dan menjadi salah satu tokoh dari jajaran action figure bertajuk “Six Faces of Evil” bersama dengan Vlad Dracula dan Atilla the Hun.

KESIMPULANNYA

Jadi yang mana yang benar untuk menyebut mahluk penghisap darah, vampir atau drakula? Terserah saja sih, toh nggak terlalu penting juga hehehe… Hanya saja bila kita menyebut mahluk penghisap darah sebagai drakula, rasanya jadi sama seperti mengasosiasikan sejenis produk barang dengan sebuah merk, seperti misalnya menyebut semua mesin pompa air sebagai “Sanyo” (dengan tekanan pada huruf ‘O’ nya, jadi berbunyi seperti “Sanyok..!”), atau menyebut semua skuter sebagai “Vespa” (pake ep bukan pake pe), atau menyebut semua mie instan sebagai “Indomie”. Terkesan kurang profesional, gitu. Jadi kalau anda ingin dikenal sebagai orang yang cukup mengerti dunia horor, mulailah menyebut mahluk penghisap darah sebagai vampir dan lupakan pengaruh Aneka Ria Srimulat dengan episode-episode tentang Pangeran Drakula-nya yang telah membuat vampir jadi mirip dengan Sanyo, Vespa dan Indomie itu.